Bab 3
"Feb, aku mau nanya serius sama kamu," bisik Rani pada sahabatnya yang sedang konsentrasi menonton drama korea sambil memeluk bantal di dalam kamarnya.
"Apaan?" sahut Feby tanpa menoleh, pandangannya sedang fokus pada Lee Min Ho yang sedang melakukan kiss scene dengan Kim Go Eun di dalam drama King Eternal Monarch.
"Gimana caranya ngecek atau mastiin kalau kita masih perawan?"
Uhuk!!
Seketika Feby tersedak ludahnya sendiri. Kiss scene yang dinantikannya terlewat begitu saja, membuat gadis itu kesal bukan main.
"Ngomong apa kamu?!" tanya Feby setelah batuknya reda. Kini dia benar-benar fokus menghadap Rani. Karna sepertinya apa yang dikatakan Rani lebih menarik dari pada adegan pemeran utama di dalam drama Korea yang ditontonnya tadi.
"Cara ngecek kalau kita masih perawan atau enggak, caranya gimana?" Rani mengulangi pertanyaannya dengan wajah merah menahan malu. Sekalipun mereka sudah berteman dekat sejak jaman sekolah, tetap saja Rani malu kalau membicarakan hal-hal seperti ini.
"Kok kamu nanya aku? Kalau kamu pernah begituan ya berarti udah nggak perawan!"
"Hus! Jangan kenceng-kenceng, entar kedengeran sama seisi rumah kamu. Malu aku."
Perlahan Feby menggeser duduknya, mendekati Rani. Bahkan gadis itu menyingkirkan bantal yang tadi di peluknya erat.
"Emang kamu pernah gituan sama Edgar?" Feby menyenggol lengan Rani sambil menaik-naikkan alisnya, menunggu Rani bicara jujur padanya.
"Dih, najis aku begituan sama dia!" Rani begidik ngeri. Bayangan Edgar yang sedang mencium Mery tepat di depan matanya kini melintas jelas di dalam benaknya.
"Tunggu, maksud kamu apa? Kok aku nggak paham ya, Ran? Jangan bilang kamu selingkuh dan berbuat begituan sama cowok lain?!"
Seketika Rani melotot, "Yang selingkuh Edgar, bukan aku!!" protes Rani tak mau disalahkan.
"Serius? Kamu tau dari mana?"
"Aku lihat sendiri," ucap Rani sedih.
"Sumpah?!! Wah gila!! Nggak ada otak tuh cowok," Feby yang memang terlihat tomboy itu langsung menggulung lengan bajunya dengan kesal.
"Udahlah, nggak usah ngomongin dia."
"Nggak bisa!! Harus diomongin! Selingkuh sama siapa tuh buaya darat?!"
"Mery."
Kening Feby kembali berkerut. "Maksud kamu? Mery temen kita?"
Rani mengangguk lemah.
"Oh, shit!!!" teriak Feby sambil mengacak rambut pendeknya. Sama seperti Rani, gadis itu juga tidak menyangka kalau Mery ternyata musuh dalam selimut.
"Sabar, Feb..." Rani mengusap lengan Feby yang masih dibakar amarah.
"Yang bilang sabar tuh harusnya aku. Lagian kok kamu santai banget sih? Nggak ada sedih-sedihnya sama sekali?" heran Feby.
"Air mataku udah kering. Hampir semingguan ini aku nangis terus di kamar, tapi setelah kupikir-pikir, ngapain aku nangisin cowok model begitu," gerutu Rani.
"Trus kamu udah ketemu sama Edgar?"
Rani menggeleng.
"Emang dia nggak nyariin kamu?"
"Aku bilang ke dia, kalau aku ada kerjaan diluar kota selama seminggu. Padahal aku cuma nggak mau dia lihat mukaku yang bengkak karna tiap hari nangisin dia."
"Pantesan kutelpon jarang diangkat. Kok kamu nggak cerita dari awal ke aku sih?" Feby memeluk singkat sahabatnya itu.
"Sengaja, Feb. Aku memang mau nenangin diri dulu."
"Tapi kamu bakalan mutusin Edgar, kan?"
Rani diam sebentar. "Pengennya sih gitu, Feb. Tapi Ayahkh tuh udah berharap banget, tahun ini aku nikah sama dia. Kamh tau sendiri kan, udah berapa lama kita pacaran," kata Rani dengan mata berembun.
Dia bukan sedih karna mengingat Edgar, tapi Rani sedih karna lagi-lagi harus membuat Ayahnya kecewa. Padahal lelaki tua itu sudah berharap pada hubungan Rani dan Edgar.
"Ya tapi kamu nggak mungkin dong maksain nikah sama laki-laki nggak bener kayak dia. Kalau Ayahmu tau kelakuan Edgar, aku yakin dia juga nggak akan mau punya mantu kayak dia."
Rani mengangguk setuju.
"Eh, tunggu!!" pekik Feby seperti mengingat sesuatu.
"Apa?" tanya Rani.
"Trus ngapain tadi kamu nanya-nanya soal cek keperawanan sama aku? Emang kamu pernah digituin sama Edgar?"
Rani buru-buru menggeleng. "Ya enggaklah. Gila kamu!"
"Kalau enggak, ngapain kamu tanya soal begituan ke aku?"
Gadis itu menipiskan bibirnya, ragu-ragu ingin menceritakan perihal malam itu pada Feby.
"Jangan bilang kamu begituan sama cowok lain?" tebak Feby. Dan yang membuat Feby terkejut, ternyata Rani tidak menyangkalnya. Sahabatnya itu hanya terdiam sambil memeluk kedua lututnya.
"Ran??"
"Feb, aku juga nggak tau sempat begituan atau enggak. Karna jujur aku tuh nggak inget."
"Kok bisa nggak inget?"
"Aku mabuk."
"Ya Tuhan, Rani!!! Kalau kamu mau mabuk kenapa nggak ngajakin aku?? Seenggaknya aku bisa jagain kamu."
"Waktu itu pikiranku bener-bener kacau, Feb. Aku nggak bisa mikir sampai kesitu."
"Haduuuh, Rani... Trus waktu kamu mabuk, ada lelaki hidung belang yang bawa kamu pergi dari bar?"
Rani mengangguk.
"Kemana? Hotel?"
Lagi-lagi Rani mengangguk lemah.
"Mati aku!!" Feby menepuk keningnya cukup keras. "Udahlah, kalau kejadiannya kayak gitu, aku nggak bisa bilang apa-apa lagi."
"Trus kamu nggak tau juga tuh cowok siapa?" lanjut Feby.
"Nggak tau..."
"Dia nggak bilang apa-apa setelah gituin kamu?"
"Dia ninggalin nomer telpon sih."
"Udah pernah kamu hubungi?"
"Belom?"
"Kenapa nggak kamu coba dulu? Siapa tau dia cuma nulis nomer random. Haduh, Ran! Kok kamu jadi bego gini sih!! Kesel deh!!"
"Tapi aku mau mastiin dulu, malam itu dia beneran gituin aku atau enggak."
"Ya makanya kamu tanya ke dia, Oneng!!!"
"Kalau dia nggak mau jawab?"
"Ya itu deritamu!!"
"Tega banget sih, Feb..."
"Kamu telpon dia sekarang! Gemes aku lama-lama."
"Duh... Aku harus ngomong apa??"
"Ya apa kek. Ajak dia ketemu misalnya."
"Tapi aku nggak mau ketemu dia lagi, Feb."
Seketika Feby menghela napas kasar, "Kalau kamu ternyata hamil anak dia gimana? Kamu mau gedein anak itu sendirian?"
"Hamil?? Emang kalau cuma sekali bisa langsung hamil?"
"Ya siapa tau dia gituin kamu nggak cuma sekali. Kan kamu nggak sadar."
Tiba-tiba wajah Rani berubah pucat. Bagaimana kalau dia benar-benar hamil diluar nikah? Bisa-bisa dia langsung dicoret dari kartu keluarga sekarang juga. Dan Melani akan menguasai harta warisan Ayahnya sendirian, sedangkan dia hidup terlunta-lunta sambil mengurus bayi.
Celaka!!
Nggak boleh! Dia nggak boleh hamil sebelum nikah. Kalau pun dia hamil, Rani akan menuntut pria hidung belang itu untuk menikahinya.
"Feb, kalau aku beneran hamil gimana?"
"Ya kamu minta tanggung jawab dia lah. Suruh dia nikahin kamu."
"Kalau ternyata dia sudah punya istri gimana?"
"Ya kamu jadi istri kedua."
Rani menggeleng cepat, "Amit-amit deh!"
"Makanya buruan kamu telpon dia. Ajak dia ketemu, dan pastiin dia masih single, kalau kamu nggak mau disebut pelakor," tandas Feby.
Sejenak Rani mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, mencari nomer kontak lelaki itu. Dan dengan ragu-ragu menelponnya.
Jantung Rani berdegup kencang saat menunggu panggilannya terjawab, begitu panggilannya tersambung rasanya jantung Rani sudah melorot sampai ke perut saking tegangnya dia.
"Halo?" suara lelaki di seberang sana.
"Ehm, halo... Kamu masih inget aku nggak?"
"Siapa?"
"Kita pernah ketemu di bar sekitar seminggu yang lalu. Setelah itu kamu bawa aku ke kamar hotel," ucap Rani dengan suara sedikit gemetar.
Diam sebentar. Sepertinya lelaki itu sedang mengingat-ingat.
"Maaf, mbak. Anda salah orang. Saya tidak pernah membawa perempuan masuk ke dalam hotel," setelah itu sambungan telponnya terputus begitu saja, membuat tubuh Rani seketika lemas.
Hai readers, tulis pendapat kalian di kolom komentar ya. Trimakasih.
