Bab 13
"Oh? Penyakit apa yang bisa kamu keluarkan untuk melawanku?" Tanya Umaya dengan melipat kedua tangannya di depan.
"Jangan banyak tanya. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan pengobatan tradisional? Ini semua tergantung pada dr. Umaya apakah dia berani mengambil tantangan ini atau tidak?" Olivia memiringkan kepalanya dan matanya terasa panas.
"Apa yang perlu ditakutkan? Aku justru takut kamu yang akan di tampar dua kali dalam satu hari ini," kata Umaya sembari tersenyum.
"Huh, aku tidak peduli apakah aku akan menerima malu, kamu tidak perlu memedulikan. Kalau kamu berani bertarung, ikut denganku!" Olivia menjatuhkan pandangan menghina, dia berjalan keluar dari klinik dengan langkah anggun.
Umaya tersenyum, dia berusaha untuk menyelesaikan beberapa pasien yang ada, lalu dengan tenang meninggalkan ruangan.
Olivia telah duduk di BMW Seri 7 berwarna merah anggur. Dia melihat Umaya, lalu bergegas membuka pintu mobil dan berkata, "Aku kira kamu akan takut untuk datang."
"Apakah ada alasan untuk tidak datang ketika wanita cantik yang mengundang?" Umaya masuk ke dalam mobil dan berkata sembari tersenyum ringan.
"Huh, tertawa, tertawalah, aku akan melihat apakah kamu masih bisa tertawa nantinya." Olivia menggerakkan bibirnya, menginjak pedal gas dan BMW itu melesat pergi.
Mobil terus melaju ke arah timur, hingga tiba di sebuah kawasan vila di pesisir timur.
Sangat jauh sekali, beberapa kata bertuliskan La Numa Vila yang berwarna emas terlihat oleh mata Umaya.
"La Numa Vila?" Dalam beberapa ingatan para pendahulu, kerinduan akan tempat ini telah mencapai tingkat yang luar biasa. La Numa Vila telah menjadi simbol kekayaan dan status.
Setiap vila di sini dihargai dengan kekayaan bersih puluhan juta. Kalau kamu tidak memiliki uang atau kekuasaan, kamu tidak akan pernah bisa membeli rumah di sini.
Umaya cukup takjub melihat kawasan pemukiman dengan pemandangan yang sangat bagus ini.
"Tanah Pasangan Hukum dan Keuangan", para biksu mengejar uang dan rumah bahkan melebihi dari orang biasa.
Mobil melewati gerbang vila yang dijaga ketat dan akhirnya berhenti di depan sebuah vila bergaya taman berlantai tiga.
Gerbang vila yang melengkung berbentuk silinder, kubah tinggi bergaya Eropa, semuanya menunjukkan martabat dan kemewahan pemiliknya.
"Ikuti aku!" Olivia mengangkat lehernya yang angkuh, kemudian masuk ke vila lebih dulu, barulah keduanya naik ke lantai tiga.
Di depan salah satu kamar yang ada di vila tersebut, Olivia kemudian menghentikan langkahnya, dia mengetuk pintu dan seketika wajahnya menjadi sedikit sedih.
"Masuk!" Di dalam, suara perempuan yang berbicara terdengar lembut.
Olivia mendorong pintu itu hingga terbuka. Meskipun ruangan itu sangat gelap, namun seluruh ruangan itu penuh dengan keanggunan. Tempat tidur kayu berukir gaya Eropa yang sangat besar, karpet putih bersih terdapat di seluruh lantai dan tirai jendela berwarna lavender berkibar di mana-mana,
Seorang wanita bertubuh montok sedang berdiri membelakangi pintu. Di depannya terdapat jendela besar yang ukurannya dari lantai sampai menjulang ke langit-langit. Dia mengulurkan tangannya, mencondongkan tubuhnya ke depan secara perlahan dan berkata dengan pelan tanpa menoleh ke belakang, "Olivia, menurutmu apakah kamu bisa optimis untuk melompat ke depan, apakah semua rasa sakitnya akan hilang?"
Ketika wanita itu berbicara, dia sekaligus membalikkan badannya.
Ternyata, wajah wanita itu begitu cantik. Kulitnya seputih salju, alis dan mata yang indah, tidak tinggi maupun pendek, tidak gemuk atau kurus, tetapi sayangnya, wajahnya terlihat sedih dan lelah. Namun, meski begitu, sulit untuk menyembunyikan lekuk tubuh itu. Saat ini, dia mengenakan baju tidur berwarna lavender yang terbuat dari kain sutra. Gaun itu menggambarkan lekuk tubuh wanita yang sempurna. Dari atas ke bawah, ada pesona seksi yang unik untuk ukuran wanita dewasa, seperti buah persik yang matang, yang membuat jantung orang berdetak kencang.
Dia melirik Umaya, sudut mulut wanita itu sedikit berkedut dan dia justru menunjukkan senyum sinisnya, "Olivia, mengapa harus repot-repot? Ini hidupku!"
Olivia mengerutkan keningnya. Dia berjalan menghampiri wanita itu, memegang tangan kecilnya dan berkata dengan serius, "Gawati, kamu harus sehat, kamu tidak bisa selalu seperti ini."
Nama wanita itu adalah Gawati. Terlepas dari semuanya dia menunjuk ke Umaya dan bertanya, "Katakanlah, kamu mengundang orang macam apa lagi kemari?"
Olivia melirik Umaya, dia sedikit cemberut dan berkata, "Gawati, aku tidak mengundang yang satu ini, tetapi, karena dia suka membual. Aku membawanya kemari karena dia bilang tidak ada penyakit yang tidak bisa dia sembuhkan."
"Oh? Aku sekarang menjadi taruhanmu?" Kata Gawati dengan senyum dingin.
"Tidak, Gawati, bukan begitu, mungkin saja dia memang benar-benar memiliki beberapa keterampilan, biarkan dia mencobanya." Olivia buru-buru menjelaskan.
"Oh, tidak masalah, jarang sekali kamu memiliki hati nurani. Dokter mengatakan bahwa dokter dari rumah sakit yang aku janjikan kemarin akan segera datang, jadi kita tunggu saja, agar tidak merepotkan." Kata Gawati dengan letih.
Olivia bersandar ke telinga Umaya dan berbisik, "Gawati sangat tertekan. Sudah lebih dari dua tahun dan aku telah mendatangkan dokter yang tak terhitung jumlahnya, dia juga tetap tidak membaik. Kalau kamu dapat menyembuhkannya untukku hari ini, aku akan sepenuhnya tunduk kepadamu."
Pada saat ini, terdengar ketukan di pintu dan seorang dokter kesehatan berjas putih membawa seorang pria berusia tiga puluhan yang mengenakan jas dan sepatu kulit. Penampilannya sangat lembut dan juga tampan sedang masuk ke dalam ruangan.
Begitu pria itu memasuki ruangan, dia dengan hati-hati menyapukan pandangannya ke arah orang-orang yang hadir, kecuali ketika dia melirik Gawati, ekspresi terkejut muncul di wajahnya, dia mengabaikan semua orang, semacam aura dingin yang kuat membuat semua orang tidak nyaman.
"Nona Gawati, dokter Yessi dari Rumah Sakit Jiwa Kota ada di sini." dokter berjas putih memperkenalkan pada Gawati dengan hormat, "Nona Gawati, dr.Yessi adalah psikiater terkemuka di kota kami, kota Dapadang. Bahkan ia adalah psikiater terkemuka di tanah air, baru saja meraih penghargaan kontribusi luar biasa tertinggi dari Asosiasi Psikologi Averland tahun lalu."
"Nah, duduklah!" Gawati mengangkat tangannya sekalius berbicara.
"Kalian masih mengundang dokter lainnya?" Yessi melirik Umaya dan berkata dengan tidak bahagia.
"Ini adalah dokter pengobatan tradisional dari Pusat Pengobatan Tradisonal Wawasan, Umaya. dr. Yessi, kamu mungkin harus memainkan pertandingan hari ini." Olivia takut sampai hatinya menjadi kacar. Dia menunjuk Umaya, senyum buruk ditampilkannya.
Yessi mendengus dan wajahnya tidak malu-malu berkata, "Yah, lelucon." Di bidang psikologi, pengobatan tradisional tidak dibutuhkan.
